Alkisah, pada suatu pagi di tahun
1951
Gubernur Kalimantan dr.
Murdjani beserta staf dan karyawan
melakukan apel bendera di
halaman Gubernuran. Hujan yang mengguyur mengakibatkan Banjarmasin tergenang air.
Ketika memberikan sambutan, air
pasang ikut “bergabung”. Akibatnya, upacara terpaksa berpindah tempat. Seperti
biasa, dokter bervisi jauh ke depan tersebut hanya bisa
mengelus dada tak berdaya menghadapi “keganasan alam” Banjarmasin.
Akumulasi kejadian serupa, apel
pagi sering harus berpindah tempat, ditambah pula dengan pandangannya tentang Banjarmasin yang berawa dan bernyamuk banyak,
memunculkan gagasan memindahkan ibu kota Kalimantan ke tempat yang ideal. Sebagai ahli kesehatan masyarakat, Murdjani berkesimpulan Banjarmasin kurang ideal sebagai pusat
pemerintahan. Tanahnya yang berawa-rawa mengakibatkan air
menggenang sepanjang musim yang memungkinkan timbulnya berbagai
penyakit.
Pak Dokter yang sangat alergi
terhadap “serangan” nyamuk yang tak mengenal musim
itu terusik pula dengan kenyataan, membangun fasilitas
pemerintahan dan sarana umum memerlukan biaya tinggi. Baginya pembangunan pusat
pemerintahan yang ideal haruslah di wilayah yang ideal pula. Melakukan pembangunan di
atas tanah padat, bukankah lebih berdayaguna
dan berhasilguna dibandingkan dengan membangun di tanah
berawa?. Ibukota Kalimantan harus dibangun baru.
Banjarmasin sebagai Kota
Air,
Kota
Perdagangan dan Kota identitas historis Urang Banjar
tetap dipertahankan. Membangun ibukota Kalimantan di Banjarbaru didasari pada pandangan pengembangan
jauh ke depan.
Untuk merealisasikan gagasannya, mulailah dicari
tempat yang ideal. Murdjani melakukan survei ke daerah-daerah di luar kota Banjarmasin. Berbagai lokasi dikunjungi dan
diamati, namun Murdjani kurang berkenan karena
lokasinya masih berawa-rawa. Akhirnya, sampailah ia di daerah
bertanah padat, lokasi Banjarbaru sekarang. Ini dia! Ibukota Kalimantan masa datang !!! Kira-kira begitu
teriak hatinya.
Pada pandangan pertama, hatinya telah tergadai
pada Banjarbaru. Melalui sidang staf dan pimpinan,
dibentuklah tim kajian kelayakan dipimpin D.A.W. Van der Peijl. Tim Peijl
melakukan kajian awal. Dalam perancangannya, planologi Banjarbaru digarap bekerjasama dengan para
pakar dari Institut Teknologi Bandung.
Peijl, Kepala Pekerjaan Umum Bagian Bangunan Kalimantan, merancang Banjarbaru bersamaan dengan kota Palangkaraya. Palangkaraya kini menjadi kota
modern tertata apik. Banjarbaru,
setelah 23 tahun berstatus kota administratif,
baru mendapatkan status kotamadia. Jangankan menjadi ibukota Kalimantan, untuk terwujud menjadi ibukota Kalimantan Selatan
saja tampaknya masih memerlukan waktu yang cukup panjang.
Bahkan, bukan tidak mungkin, gagasan itu akan
tenggelam. Karena
itu sangat wajar soal kepindahan ibukota Kalimantan Selatan
itu layak dihapuskan dari memori. Dan, ketika
Rudy Resnawan menjadi Walikota,
dengan canangan Banjarbaru is
Banjarbaru, membangun Banjarbaru dengan “kekuatan sendiri”, adalah suatu
pilihan yang tepat.
Artinya, masyarakat dibawa ke ranah proporsional, membangun
Banjarbaru tanpa dikaitkan dengan kepindahan ibukota Kalimantan Selatan.
Sejarah telah memampang, kalau
“dongeng” itu tetap ditayangkan, pembangunan Banjarbaru akan jalan
di tempat. Soal kepindahan ibukota,
bukanlah hal terlalu penting. Kalau
perlu tolak. Sekarang bangun dulu Banjarbaru.
Bermula dari Gunung Apam
Banjarbaru pada waktu dicanangkan sebagai ibukota
Kalimantan “belum apa-apa”. Menurut cerita tetuha, cikal-bakalnya Banjarbaru
bermula dari Gunung Apam. Gunung Apam adalah “puncak” perbukitan di lintasan
jalan Banjarmasin-Martapura, kira-kira di lokasi Bank BRI Banjarbaru sekarang.
Di daerah ketinggian itu belum ada pemukiman. Hamparan tanahnya ditumbuhi
padang ilalang dan pohon-pohon yang masih terkesan angker. Di samping lintasan
jalan darat, juga lintasan pencari (pendulang) intan tradisional di belakang
Unlam Banjarbaru saat ini.
Lokasi strategis tersebut mengundang minat
seorang penduduk membuka warung. Pewarung, yang tidak diketahui nama dan
asalnya itu, membuka warung kecil-kecilan, menjual minuman teh dan kopi. Wadai
(kue) pendampingnya adalah apam (serabi). Tak dinyana, wadai apam tersebut
kemudian diperuntukkan menjadi nama daerah tersebut.
Konon, apam tersebut sangat lezatnya hingga
digemari banyak orang. Pertama-tama konsumennya para pendulang intan dan sopir
truk. Mereka melepas lelah sambil kongkow-kongkow. Kemudian penduduk dari
Martapura dan daerah sekitarnya tidak ketinggalan memarakkan apam lezat
tersebut.
Bersamaan dengan populernya “Warung Gaul” Gunung
Apam, beberapa orang penduduk mengikuti jejak Si Pewarung Perintis.
Lama-kelamaan banyak orang yang mendirikan rumah di sekitarnya. Sejak itu,
terbentuklah perkampungan penduduk yang populer disebut Gunung Apam. Secara
administratif, Gunung Apam termasuk wilayah anak Kampung Guntung Payung,
Kampung Jawa, Kecamatan Martapura.
Pada perkembangannya, perkampungan itu makin
ramai. Semasa Murdjani menjadi Gubernur Kalimantan (1950-1953), yang terobsesi
memindahkan ibukota Kalimantan ke daerah yang lebih ideal, memilih daerah di
sekitar Gunung Apam. Tidak mengherankan, begitu “mendapatkan” lokasi baru,
kajian planologi segera dilakukan. Sampai akhir masa jabatannya (1953),
walaupun secara administratif dan fisik baru pada tahap perancangan,
pembangunan perkantoran dan perumahan pegawai Pemda Kalimantan dimulai.
Targetnya, ibukota Kalimantan pindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
Gagas Murdjani dapat disimak dari suatu pidato
visionernya yang dapat dikatakan sebagai obsesinya :
Kira-kira lima ratus tahun yang lalu negeri
Amerika Serikat, seperti kita kenal sekarang, hanya suatu impian yang indah.
Akan tetapi berkat usaha orang-orang yang dapat melihat dalam jarak panjang,
maka impian itu, telah menjadi kenyataan. Dan saya yakin, bahwa Indonesia pun
akan dapat mewujudkan cita-cita pembukaan dan pembangunan Kalimantan.
Yang hendak dikatakannya adalah, membangun
Banjarbaru dari awal bukanlah hal yang mustahil walaupun pada saat ini lebih
terkesan sebagai “mimpi”. Yang diperlukan usaha bersama mewujudkannya.
Tepatnya, Murdjani menyampaikan pesan, pembangunan itu, apalagi Banjarbaru yang
dimulai dari awal harus direncanakan sebaik mungkin, dibangun bertahap dan
berkelanjutan hingga terwujud suatu ibukota yang ideal dan dapat dibanggakan
karena tatanannya yang bagus dan menjadi kota modern.
Ketika R.T.A Milono menggantikan Murdjani, usaha
pembangunan dilanjutkan. Secara resmi, dengan surat bernomor: Des-19930-41
tanggal 9 Juli 1954 diusulkan kepada Pemerintah Pusat agar Banjarbaru
ditetapkan menjadi ibukota Kalimantan. Sekalipun usaha pembangunan Banjarbaru
dimulai dari awal menjadi sebuah kota ideal, dan kemudian Kalimantan dipecah
menjadi empat (4) provinsi, sejarah nampaknya kurang berpihak.
Tuntutan masyarakat, pihak eksekutif, dan
legislatif yang susul menyusul baru menghasilkan status Banjarbaru pada 11
November 1975 sebagai kota administratif. Setelah memakan waktu dua dasawarsa
lebih, Banjarbaru “mendapatkan” status kotamadia. Hampir setengah abad,
nampaknya belum “membuktikan” gagasan brilian dokter masyarakat itu disahuti
secara nyata.
Kini, ketika Banjarmasin berkembang begitu pesat,
yang kepadatan dan berbagai dampaknya dirasakan kurang menyamankan, urgensi
Banjarbaru sebagai ibukota Kalimantan Selatan memang perlu diseriusi. Tapi,
kenyataan berbicara lain. Banjarbaru akan membangun dirinya, Banjarbaru is
Banjarbaru. Konsep itulah yang kini tengah digulirkan.
Potensi dan Obsesi
Pergulatan Banjarbaru menuju ibukota Kalimantan
Selatan, awalnya ibukota Kalimantan, sebagaimana digagas dr. Murdjani,
nampaknya tidak pernah surut. Hal tersebut terlihat dari paparan “perjuangan”
mewujudkan Banjarbaru sebagai kotamadia sekaligus landasan menuju ibukota
Kalimantan Selatan. Pihak Pemerintah Kota Administratif Banjarbaru, masyarakat,
Pemda Banjar, dan Pemda Kalsel, sesuai dengan “kemampuan” selalu berusaha.
Hasilnya saja yang kurang memuaskan.
Secara simpel dapat disimak dari usaha Pemerintah
Kota Administratif Banjarbaru dalam usaha “menjemput” status kotamadia.
Pemahaman mendalam atas kemampuan berdasarkan simakan potensi sumberdaya
manusia dan sumberdaya alam, pada Hari Jadi ke 22, 11 November 1997, digagaslah
lambang Banjarbaru.
Pembuatan lambang berkaitan erat dengan makin
dekatnya saat-saat perubahan status dari kota administratif menjadi kotamadia.
Perjuangan panjang dan persiapan administratif dirasa sudah cukup syarat. Direktorat Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri
telah melakukan pengamatan lapangan dan instansi terkait yang tergabung dalam
Tim Tekhnis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah pada tanggal 10 April
1997 dengan kesimpulan, Kota Administratif Banjarbaru layak mendapatkan status
kotamadia.
Melalui Surat Keputusan Nomor 04 Tahun 1997
tanggal 20 Agustus 1997 Walikota Administratif Banjarbaru membentuk panitia
sayembara pembuatan lambang kota Banjarbaru. Sebagaimana dikatakan Drs. H.
Hamidhan B, Walikota Administratif Banjarbaru, dalam buku Pembuatan Lambang
Kota Banjarbaru: Proses pembuatan Lambang Kota Banjarbaru disusun secara
sederhana, berisi sejarah berdirinya Kota Administratif Banjarbaru dan
perkembangannya pada masa akan datang.
Perkembangan pada masa akan datang berarti dalam
jangka pendek berubah status menjadi kotamadia dan obsesi bagaimana Banjarbaru
sebagai Kotamadia Daerah Tingkat II sekaligus ibukota Kalimantan Selatan yang
berpilin dalam upaya gerak mensejahterakan masyarakatnya dengan program-program
pembangunan tepat sasaran.
Motto Gawi Sabarataan.
Motto Gawi Sabarataan yang menjadi tulisan sarat
makna pada lambang Kota Banjarbaru berarti :
- Ditinjau dari aspek kerukunan dan persatuan, Gawi Sabarataan menggambarkan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama (Pemerintah dan masyarakat) dimana setiap unsur menyadari tugas dan tanggung jawab masing-masing.
- Ditinjau dari aspek masa depan, Gawi Sabarataan secara operasional dapat memacu motivasi mencapai masa depan yang lebih baik.
- Ditinjau dari etos kerja, Gawi Sabarataan menjadi inspirasi masyarakat Banjarbaru untuk bekerja/berkarya sesuai dengan tugas pokok dan peran masing-masing.
- Pernyataan tekad dan semangat seluruh lapisan masyarakat beserta pemerintah untuk membangun dengan potensi yang ada dalam rangka mewujudkan kehidupan adil, makmur, dan sejahtera di bawah lindungan dan ridho Tuhan Yang Maha Esa.
- Ditinjau dari segi ajaran agama manusia adalah pemegang amanat Tuhan sebagai penguasa yang harus memakmurkan bumi dan menjaga kelestariannya sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.
Kotamadia Harapan Masyarakat
Perjuangan dan persiapan menjadikan Banjarbaru
sebagai kotamadia, seolah telah menjadi bagian terlekad setiap Walikota
Administratif Banjarbaru. Berdasarkan apa-apa yang telah dilakukan wali kota
terdahulu, semasa Hamidhan B. (1993-1998) menjabat wali kota ke sembilan,
segala sesuatu telah dilakukan dengan sangat serius dan tanpa mengenal lelah.
Persiapan fisik dan nonfisik dilakukan bersamaan
dengan tugas rutin pemerintahan dalam usaha dan upaya meraih status kotamadia.
Persiapan dan “pembenahan” aparat pemerintahan dilakukan serempak dengan upaya
“meyakinkan” Pemerintah Atas (Pemda Banjar, Kalsel dan Pemerintah Pusat).
Penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), juga dilakukan
lobi-lobi ke Pusat (Jakarta).
Eloknya Dirjen PUOD Depdagri pun melakukan
pengamatan dengan hasil rekomendasi Banjarbaru patut menjadi kotamadia. Hasil
kunjungan anggota DPR RI pun berkesimpulan menguatkan hasil pengamatan Dirjen
PUOD. Lambang Kota Banjarbaru pun siap menanti Banjarbaru era baru.
Sayangnya semua itu belumlah berbuah sebagaimana
diharapkan. Sampai Hamidhan B. mengakhiri jabatannya sebagai Walikota
Administratif Banjarbaru, Banjarbaru masih berstatus kota administratif.
Tetapi, “landas pacu” sudah siap menjemput fajar harapan.
Ketika Akhmad Fakhrulli dilantik menggantikan
Hamidhan B., sebagai Walikota Administratif Banjarbaru, 26 Desember 1998,
Gubernur Hasan Aman mengamanatkan, agar status kotamadia segera terwujud. Tentu
saja hal tersebut merupakan tantangan yang cukup berat bagi Akhmad Fakhrulli.
Fakhrulli memfokuskan perhatiannya terhadap perjuangan itu.
Begitu menduduki jabatan wali kota, ia bekerja
sigap. Konsolidasi dengan staf sembari segera meneliti ulang segala arsip
dilakukan tanpa mengenal lelah. Pada bulan-bulan pertama jabatannya, jam kantor
molor sampai malam, bahkan kadang-kadang sampai pagi. Penulis (Ersis Warmansyah
Abbas) adalah saksi hidup betapa seriusnya Fakhrulli berjuang. Bahkan, dia
pernah bilang, kalau saya tidak berhasil menjadikan Banjarbaru kotamadia, Lu
jangan lagi panggil aku Abang. Lu, bantu gua apa yang dapat dibantu.
Alhamdulillah, Fakhrulli berhasil.
Sebagai “Dubes” (Kepala Perwakilan) Pemda Kalsel
di Jakarta, Fakhrulli selalu memonitor perkembangan Banjarbaru. Ketika tanpa
diduga dipercaya (menurut pengakuannya) sebagai wali kota, bekalnya dirasa
cukup. (Sebagai catatan: Akhmad Fakhrulli, sesuai “berita” yang beredar di
masyarakat, tidak disebut-sebut sebagai calon wali kota).
Jaringan persahabatannya semasa bertugas di
Jakarta, dimanfaatkan maksimal. Ia melakukan lobi-lobi intensif. Kantor
Depdagri sampai Gedung DPR, menjadi sasarannya dalam memperjuangkan status
Banjarbaru. Bersamaan dengan itu, apa yang dilakukan para wali kota terdahulu
“dipelajari” seksama, tokoh masyarakat diajak berunding, dan komitmen pejabat
Pemda Kalsel diperoleh: Banjarbaru akan diperjuangkan all-out menjadi
kotamadia.
Alhasil, 11 anggota Komisi II DPR RI pada tanggal
27 Februari 1999, melakukan kunjungan kerja meninjau kesiapan Banjarbaru dalam
rangka menyahuti usulan peningkatan status Banjarbaru, dalam rangkaian proses
pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembentukan Kotamadia
Banjarbaru.
Begitu disyahkan undang-undang tentang Banjarbaru
menjadi Daerah Tingkat II, UU RI nomor 9 Tahun 1999, bukan kebanggaan yang ia
tonjolkan, tetapi rasa syukur. Selangkah perjuangan telah dilalui dengan baik,
katanya. Keberhasilan perjuangan adalah rangkaian hasil usaha dan upaya banyak
pihak. Kini saatnya Banjarbaru “dikembalikan” pada rencana awal ketika
dirancang.
Tokoh-tokoh penuntut kotamadia Banjarbaru, ulama,
tokoh masyarakat, kalangan muda, orang-orang kampus, dan seluruh komponen
masyarakat dipadukan dalam rangkaian renungan dan bersyukur ria, bukan berpesta
ria dimana-mana. Di mesjid, surau, dan musholla se-antero Banjarbaru dilakukan
salat syukur. Dalam pertemuan seusai salat syukur di kediaman wali kota, dengan
rendah hati Fakhrulli berujar:
Berhasilnya Banjarbaru sebagai kotamadia bukanlah
karena saya. Tetapi, karena pian-pian. Inilah hasil perjuangan panjang kita
semua. Inilah hadiah buat pian-pian (para tokoh penuntut kotamadia Banjarbaru.
Pen.).
Kepada semua pihak yang telah mencurahkan fikiran
dan tenaga dalam perjuangan Banjarbaru, terutama pada wali kota terdahulu,
penghargaan dipersembahkan setinggi-tingginya. Sebab, untaian perjuangan
panjang itulah yang akhirnya menjadikan Banjarbaru sebagai kotamadia.
Kini saatnya, siapa saja “kita”, untuk kembali
menyatukan tekad dan semangat dalam mengisi Banjarbaru era kotamadia.
Demikian kira-kira inti ungkapan Fakhrulli kepada
para pejuang, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak yang telah andil memperjuangkan
Banjarbaru. Walaupun peningkatan status kotamadia ketika dia menjadi wali kota,
Fakhrulli tak hendak membusungkan dada.
Kini tugas Fakhrulli, bukannya lebih ringan.
Sebab, begitu dilantik menjadi Walikota Banjarbaru pertama, tugas mempersiapkan
segala perangkat Banjarbaru sebagai daerah tingkat II, tentu tidak kalah
menantang. Apalagi, era yang akan dihadapi adalah era otonomi. Akankah
berhasil? Pertanyaan tersebut tentu tidak perlu dijawab. Kenyataanlah nanti
yang akan jadi bukti, dan yang penting, Fakhrulli mengatakan:
Pembangunan Banjarbaru ke depan adalah: dari,
oleh, dan untuk masyarakat yang dalam pelaksanaannya bahu-membahu dengan
Pemerintah Kota Banjarbaru. Orientasi masyarakat itulah yang menjadi visi
pembangunan Banjarbaru.
Bermodalkan hal itu, tampaknya tidaklah perlu
gamang menatap masa depan Banjarbaru. Sebab, Banjarbaru diberkahi sumberdaya
manusia (SDM) sangat menjanjikan. Namun kesemua itu terletak dari bagaimana
warga Banjarbaru “menyadari” agar Banjarbaru tidak lagi “dibodohi”
bayang-bayang kepindahan ibukota Kalimantan Selatan hingga lupa membangun
kotanya.
No comments:
Post a Comment